Merebut Papua dari Kolonial Belanda
Kisah Awak Kapal Selam IndonesiaKru kapal selam Uni soviet dan Indonesia di Laut Baltik. (Buku Sahabat Lama, era Baru, 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia) ★
Bertempat di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961. Ya, jalan perang terpaksa ditempuh pemerintah Indonesia lantaran segala upaya di meja perundingan untuk meminta Belanda menyerahkan Irian Barat tak ada hasil.
“Sekarang saya tanya kepada Saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai satu boneka Papua? Belanda menghasut rakyat Irian Barat, menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zogenaamde nasional Papua,” Presiden Sukarno berpidato membakar semangat rakyat seperti dikutip dalam buku Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat.
Alih-alih menyerahkan Irian Barat, Belanda malah terus mengirim tentaranya ke Papua. “Dengarkan Saudara-saudara, komando saya dengan tegas ialah gagalkan pendirian negara Papua ini. Apa komando saya lagi, hai seluruh rakyat Indonesia, kibarkanlah bendera Sang Saka Merah-Putih di Irian Barat itu…. Siap sedialah akan datang mobilisasi umum. Mobilisasi umum mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialis Belanda….”
Presiden Sukarno di atas geladak RI Tjakra menyaksikan penyerahan brevet melalui Letnan Kolonel RP Poernomo. (Dispen ALRI)
Kedatangan mesin-mesin tempur dari Uni Soviet membuat pemerintah Indonesia makin percaya diri melayani provokasi Belanda. Bahkan saat itu, armada Angkatan Laut sudah diperkuat beberapa kapal selam.
Pada akhir Juli 1962, perintah turun kepada Tim-2 Detasemen Pasukan Chusus (DPC) Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dipimpin Letnan Satu Dolf Latumahina untuk menyusup ke daratan Irian Barat. Anggota DPC yang dilatih Mayor L.B. Moerdani itu diinstruksikan melakukan sabotase pertahanan Belanda di Hollandia (Jayapura) dan Lapangan Udara Sentani serta menyiapkan pemerintahan sementara.
Namun bukan perkara mudah menyusup ke Irian Barat tanpa terdeteksi Belanda. Sekeliling perairan Irian Barat dijaga dengan sangat ketat. Opsi paling masuk akal akhirnya menggunakan kapal selam, yang bisa menyusup ke belakang garis pertahanan musuh. Teluk Tanah Merah, sekitar 50 kilometer arah barat daya dari Hollandia, dipilih menjadi lokasi pendaratan. Tepat pada 15 Agustus, Kolonel R.P. Poernomo selaku Komandan Kesatuan Kapal Selam-15 memerintahkan tiga kapal selam, yakni RI Trisula, RI Tjandrasa, dan RI Nagarangsang, bergerak dari Teluk Kupa-Kupa, Halmahera, dengan nama Operasi Tjakra II.
Tim yang akan melakukan sabotase diangkut RI Trisula dan RI Nagarangsang. Sedangkan RI Tjandrasa membawa tim lainnya. Trisula, yang lokasi pendaratannya paling jauh, berangkat pertama dengan komandan Mayor (Laut) Teddy Asikin Natanegara.
Kolonel (Purnawirawan) Subagijo, yang saat itu masih berpangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira torpedo di RI Tjandrasa, menuturkan para prajurit pasukan khusus itu membawa senjata standar AK-47 dan perbekalan lengkap untuk bertahan hidup di hutan. “Mereka juga berlatih keluar dari pintu anjungan saat kapal selam muncul di permukaan serta mengeluarkan dan memompa perahu karet dengan cepat,” Subagijo menuturkan kepada detikX beberapa hari lalu.
KSAL Kolonel Laut R.E. Martadinata mewakili Pemerintah Indonesia saat upacara penyerahan dua kapal selam pertama kelas Whiskey dari Uni Soviet kepada Indonesia, 12 September 1959. (REM)
Pada 20 Agustus 1962, kapal selam kelas Whiskey dengan panjang 76 meter mulai masuk dalam wilayah teluk. Sebelum pukul 22.00, kurang-lebih 2 mil dari bibir pantai, RI Tjandrasa muncul ke permukaan dan langsung menyiapkan sekoci. “Saat pasukan RPKAD akan keluar, pesawat Neptune milik Belanda menembakkan peluru suar menerangi pantai,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1982-1992 itu.
Lantaran sudah tepergok Belanda, sesuai dengan prosedur, misi dibatalkan. Komandan RI Tjandrasa, Mayor Mardiono, memerintahkan awaknya melakukan penyelaman cepat ke arah utara. Dalam perjalanan ke daerah aman, Mardiono mengumpulkan para perwiranya. Para perwira, kata Subagijo, kecewa atas gagalnya misi itu. Mardiono akhirnya memutuskan mengulang rencana pendaratan di tempat yang sama.
Pagi-pagi hari berikutnya, RI Tjandrasa kembali menyelam ke sasaran semula. Kapal selam mulai muncul sekitar 1,5 mil dari pantai. Kali ini semua berjalan lancar. Tiga sekoci bisa dikeluarkan dan dipompa. Diselimuti kegelapan, 15 anggota tim penyusup dengan senyap turun ke sekoci dan mendayung ke pantai. “Kami harus menunggu sekoci-sekoci itu hingga jarak aman, baru kapal bisa menyelam lagi,” ujar Subagijo.
Situasi berbeda dihadapi RI Trisula, yang mengangkut pasukan tim penyusup yang dipimpin Letnan Satu Dolf Latumahina. Titik pendaratan regu pasukan khusus di kapal ini paling jauh. Laksamana Muda (Purnawirawan) Handogo, yang saat itu berpangkat kapten dan menjabat perwira I, menuturkan RI Trisula mendekati pantai saat senja. Sekitar 300 meter dari pantai, dua perahu karet diturunkan. Ke-15 prajurit RPKAD sudah berhasil mendarat, bahkan berbicara dengan penduduk setempat.
Komandan RI Tjakra – 40, Mayor Laut R.P.Poernomo sedang patroli dan observasi di periskop RI Tjakra 401 dalam rangka memperingati hari Angkatan Perang RI, Oktober 1959 di Teluk Jakarta. (Detik)
Perwira navigasi yang memantau situasi daratan merasa curiga melihat cahaya yang kadang menyala dan kadang padam. Komandan RI Trisula Mayor Teddy Asikin Natanegara memutuskan memanggil kembali tim yang ada di pantai. “Saat terjadi diskusi di atas anjungan kapal yang setengah terapung dari arah daratan muncul titik cahaya dan ternyata pesawat Neptune,” ujar Handogo kepada detikX. Sementara itu, dari kejauhan di atas permukaan laut, terlihat tiang kapal perusak milik Belanda.
Komandan RI Trisula memerintahkan penyelaman cepat menuju kedalaman 150 meter. Setelah semua katup dicek dan tak ada rembesan air laut, Trisula menyelam sampai kedalaman 180 meter. “Ini untuk menghindari bom laut serta deteksi sonar kapal musuh,” ujar Handogo, yang pernah menjabat Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Mochamad Romly. RI Trisula akhirnya kembali ke pangkalan di Teluk Kupa-Kupa.
Kapal selam ketiga RI Nagarangsang di bawah komando Mayor Agus Subroto belum memasuki Teluk Tanah Merah saat dipergoki kapal perusak Belanda. Sesuai dengan prosedur, RI Nagarangsang terpaksa pulang kembali ke pangkalan.
Pemerintah kemudian menganugerahkan penghargaan Bintang Sakti kepada 61 awak kapal selam RI Tjandrasa pada 19 Februari 1963 di halaman Istana Negara, Jakarta. Mereka dinilai berjasa dalam pelaksanaan Operasi Trikora. Inilah satu-satunya kapal perang dalam jajaran Angkatan Laut yang menerima Bintang Sakti berkat suksesnya eksekusi Operasi Tjakra II.
Bertempat di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961. Ya, jalan perang terpaksa ditempuh pemerintah Indonesia lantaran segala upaya di meja perundingan untuk meminta Belanda menyerahkan Irian Barat tak ada hasil.
“Sekarang saya tanya kepada Saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai satu boneka Papua? Belanda menghasut rakyat Irian Barat, menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zogenaamde nasional Papua,” Presiden Sukarno berpidato membakar semangat rakyat seperti dikutip dalam buku Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat.
Alih-alih menyerahkan Irian Barat, Belanda malah terus mengirim tentaranya ke Papua. “Dengarkan Saudara-saudara, komando saya dengan tegas ialah gagalkan pendirian negara Papua ini. Apa komando saya lagi, hai seluruh rakyat Indonesia, kibarkanlah bendera Sang Saka Merah-Putih di Irian Barat itu…. Siap sedialah akan datang mobilisasi umum. Mobilisasi umum mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialis Belanda….”
Presiden Sukarno di atas geladak RI Tjakra menyaksikan penyerahan brevet melalui Letnan Kolonel RP Poernomo. (Dispen ALRI)
Kedatangan mesin-mesin tempur dari Uni Soviet membuat pemerintah Indonesia makin percaya diri melayani provokasi Belanda. Bahkan saat itu, armada Angkatan Laut sudah diperkuat beberapa kapal selam.
Pada akhir Juli 1962, perintah turun kepada Tim-2 Detasemen Pasukan Chusus (DPC) Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dipimpin Letnan Satu Dolf Latumahina untuk menyusup ke daratan Irian Barat. Anggota DPC yang dilatih Mayor L.B. Moerdani itu diinstruksikan melakukan sabotase pertahanan Belanda di Hollandia (Jayapura) dan Lapangan Udara Sentani serta menyiapkan pemerintahan sementara.
Namun bukan perkara mudah menyusup ke Irian Barat tanpa terdeteksi Belanda. Sekeliling perairan Irian Barat dijaga dengan sangat ketat. Opsi paling masuk akal akhirnya menggunakan kapal selam, yang bisa menyusup ke belakang garis pertahanan musuh. Teluk Tanah Merah, sekitar 50 kilometer arah barat daya dari Hollandia, dipilih menjadi lokasi pendaratan. Tepat pada 15 Agustus, Kolonel R.P. Poernomo selaku Komandan Kesatuan Kapal Selam-15 memerintahkan tiga kapal selam, yakni RI Trisula, RI Tjandrasa, dan RI Nagarangsang, bergerak dari Teluk Kupa-Kupa, Halmahera, dengan nama Operasi Tjakra II.
Tim yang akan melakukan sabotase diangkut RI Trisula dan RI Nagarangsang. Sedangkan RI Tjandrasa membawa tim lainnya. Trisula, yang lokasi pendaratannya paling jauh, berangkat pertama dengan komandan Mayor (Laut) Teddy Asikin Natanegara.
Kolonel (Purnawirawan) Subagijo, yang saat itu masih berpangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira torpedo di RI Tjandrasa, menuturkan para prajurit pasukan khusus itu membawa senjata standar AK-47 dan perbekalan lengkap untuk bertahan hidup di hutan. “Mereka juga berlatih keluar dari pintu anjungan saat kapal selam muncul di permukaan serta mengeluarkan dan memompa perahu karet dengan cepat,” Subagijo menuturkan kepada detikX beberapa hari lalu.
KSAL Kolonel Laut R.E. Martadinata mewakili Pemerintah Indonesia saat upacara penyerahan dua kapal selam pertama kelas Whiskey dari Uni Soviet kepada Indonesia, 12 September 1959. (REM)
Pada 20 Agustus 1962, kapal selam kelas Whiskey dengan panjang 76 meter mulai masuk dalam wilayah teluk. Sebelum pukul 22.00, kurang-lebih 2 mil dari bibir pantai, RI Tjandrasa muncul ke permukaan dan langsung menyiapkan sekoci. “Saat pasukan RPKAD akan keluar, pesawat Neptune milik Belanda menembakkan peluru suar menerangi pantai,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1982-1992 itu.
Lantaran sudah tepergok Belanda, sesuai dengan prosedur, misi dibatalkan. Komandan RI Tjandrasa, Mayor Mardiono, memerintahkan awaknya melakukan penyelaman cepat ke arah utara. Dalam perjalanan ke daerah aman, Mardiono mengumpulkan para perwiranya. Para perwira, kata Subagijo, kecewa atas gagalnya misi itu. Mardiono akhirnya memutuskan mengulang rencana pendaratan di tempat yang sama.
Pagi-pagi hari berikutnya, RI Tjandrasa kembali menyelam ke sasaran semula. Kapal selam mulai muncul sekitar 1,5 mil dari pantai. Kali ini semua berjalan lancar. Tiga sekoci bisa dikeluarkan dan dipompa. Diselimuti kegelapan, 15 anggota tim penyusup dengan senyap turun ke sekoci dan mendayung ke pantai. “Kami harus menunggu sekoci-sekoci itu hingga jarak aman, baru kapal bisa menyelam lagi,” ujar Subagijo.
Situasi berbeda dihadapi RI Trisula, yang mengangkut pasukan tim penyusup yang dipimpin Letnan Satu Dolf Latumahina. Titik pendaratan regu pasukan khusus di kapal ini paling jauh. Laksamana Muda (Purnawirawan) Handogo, yang saat itu berpangkat kapten dan menjabat perwira I, menuturkan RI Trisula mendekati pantai saat senja. Sekitar 300 meter dari pantai, dua perahu karet diturunkan. Ke-15 prajurit RPKAD sudah berhasil mendarat, bahkan berbicara dengan penduduk setempat.
Komandan RI Tjakra – 40, Mayor Laut R.P.Poernomo sedang patroli dan observasi di periskop RI Tjakra 401 dalam rangka memperingati hari Angkatan Perang RI, Oktober 1959 di Teluk Jakarta. (Detik)
Perwira navigasi yang memantau situasi daratan merasa curiga melihat cahaya yang kadang menyala dan kadang padam. Komandan RI Trisula Mayor Teddy Asikin Natanegara memutuskan memanggil kembali tim yang ada di pantai. “Saat terjadi diskusi di atas anjungan kapal yang setengah terapung dari arah daratan muncul titik cahaya dan ternyata pesawat Neptune,” ujar Handogo kepada detikX. Sementara itu, dari kejauhan di atas permukaan laut, terlihat tiang kapal perusak milik Belanda.
Komandan RI Trisula memerintahkan penyelaman cepat menuju kedalaman 150 meter. Setelah semua katup dicek dan tak ada rembesan air laut, Trisula menyelam sampai kedalaman 180 meter. “Ini untuk menghindari bom laut serta deteksi sonar kapal musuh,” ujar Handogo, yang pernah menjabat Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Mochamad Romly. RI Trisula akhirnya kembali ke pangkalan di Teluk Kupa-Kupa.
Kapal selam ketiga RI Nagarangsang di bawah komando Mayor Agus Subroto belum memasuki Teluk Tanah Merah saat dipergoki kapal perusak Belanda. Sesuai dengan prosedur, RI Nagarangsang terpaksa pulang kembali ke pangkalan.
Pemerintah kemudian menganugerahkan penghargaan Bintang Sakti kepada 61 awak kapal selam RI Tjandrasa pada 19 Februari 1963 di halaman Istana Negara, Jakarta. Mereka dinilai berjasa dalam pelaksanaan Operasi Trikora. Inilah satu-satunya kapal perang dalam jajaran Angkatan Laut yang menerima Bintang Sakti berkat suksesnya eksekusi Operasi Tjakra II.
♞ detikX
Post a Comment