TNI Dinilai Perlu Dilibatkan
✬ Karena Terorisme Ancam Nation Right Simulasi pembebasan sandera [sindonews] ✮
Pengamat intelejen, Mardigu Wowiek Prasantyo mengungkapkan bahwa pemberantasan terorisme hampir di seluruh dunia melibatkan tentara. Sebab, terorisme adalah extraordinary crime dan dianggap telah mengganggu nation right, sehingga tentara harus turun tangan.
Hal itu menanggapi tak kunjung selesainya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR. Adapun salah satu perdebatannya mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang oleh sebagian pihak dikhawatirkan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Di seluruh dunia kalau saya sedang menghadiri forum atau dialog mengenai pertahanan, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang ditertawakan. Sebab, terorisme masuk pidana atau pro yustisia yang membutuhkan dua alat bukti dalam pembuktiannya," katanya saat dihubungi, Selasa (30/5).
Di negara lain, menurutnya, terorisme adalah pelanggaran terhadap nation right sehingga pelakunya harus langsung diambil tindakan tegas tanpa harus dibuktikan menggunakan dua alat bukti terlebih dahulu. "Kalau menangani terorisme menggunakan public affair (polisi) tidak akan selesai. Harus menggunakan state affair, yaitu TNI," ungkapnya.
Permasalahannya, lanjutnya, melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme sama saja dengan membagi jatah anggaran Rp 1,9 triliun yang saat ini dimiliki kepolisian. Untuk itu, ia menduga pembahasan revisi UU Antiteror menjadi mandek sejak tahun 2016.
Sementara mengenai masalah pelanggaran HAM yang dijadikan alasan menolak pelibatan TNI, ia mengingatkan bahwa di semua negara prinsip yang benar adalah nation right lebih tinggi dari pada human right. Menurutnya, siapa pun bisa diambil tindakan tegas jika mengancam negara dan itu tidak dipersalahkan. "Dalam UU Terorime (yang akan terbit) harus disetujui bersama, bahwa nation right lebih tinggi derajatnya dari human right," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan sejumlah pasal tegas guna menanggulangi terorisme.
Pertama, setiap warga negara Indonesia yang pernah “berperang” di negara lain atas pilihannya sendiri dan bukan tugas negara dianggap tidak nasionalis dan hilang hak kewarganegaraannya. Tidak bisa kembali ke Indonesia dalam bentuk apa pun.
Kedua, mereka yang melakukan pelatihan militer mengunakan senjata serang assault weapon baik hanya simulasi apalagi senjata benaran, dikenakan pidana 10 tahun penjara.
Ketiga, setiap perkataan dan perbuatan yang secara harfiah jelas dan mudah dipahami mengatakan antipancasila, menghina simbol negara, mengerahkan massa untuk mengubah dasar negara dengan cara inkonstisional, radikal dan di luar cara sah UUD dikenakan penjara 20 tahun.
Keempat, setiap warga yang kena masalah pidana radikalisme dan terorime jika terkena pasal “penjara” berapa pun lamanya baru bisa lengkap / “keluar” akan ditambahkan 1 tugas yaitu membuat makalah tentang NKRI, kebinekaan, sejarah bangsa. Makalah karya tulis tersebut minimum 500 halaman dan akan dipresentasikan di depan “panelis”. Makalah tersebut disarikan dari minimum 20 buku referensi yang disediakan dalam perpustakaan khusus sejarah bangsa Indonesia.
Jokowi Beri Kewenangan TNI Berantas Teroris
Simulasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyerang markas teroris di Sentul, Bogor. [kompas]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menko Polhukam Wiranto memberikan kewenangan kepada jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme.
Saat ini, Revisi UU Antiterorisme sedang dalam pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
“Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja, dengan alasan-alasan yang saya kira, Menko Polhukam sudah mempersiapkannya,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat paripurna Kabinet Kerja di Ruang Garuda, Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5).
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga meminta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius konsisten menjalankan program pencegahan penyebaran paham terorisme mulai dari bangku sekolah, tempat ibadah, penjara, hingga media sosial.
“Karena ini juga akan sangat mengurangi aksi-aksi terorisme yang hampir semua negara sekarang ini mengalaminya,” kata Presiden Jokowi.
Lebih lanjut Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah juga terus mengupayakan untuk secepatnya menyelesaikan proses pembahasan RUU Antiterorisme di DPR.
Pengamat intelejen, Mardigu Wowiek Prasantyo mengungkapkan bahwa pemberantasan terorisme hampir di seluruh dunia melibatkan tentara. Sebab, terorisme adalah extraordinary crime dan dianggap telah mengganggu nation right, sehingga tentara harus turun tangan.
Hal itu menanggapi tak kunjung selesainya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR. Adapun salah satu perdebatannya mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang oleh sebagian pihak dikhawatirkan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Di seluruh dunia kalau saya sedang menghadiri forum atau dialog mengenai pertahanan, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang ditertawakan. Sebab, terorisme masuk pidana atau pro yustisia yang membutuhkan dua alat bukti dalam pembuktiannya," katanya saat dihubungi, Selasa (30/5).
Di negara lain, menurutnya, terorisme adalah pelanggaran terhadap nation right sehingga pelakunya harus langsung diambil tindakan tegas tanpa harus dibuktikan menggunakan dua alat bukti terlebih dahulu. "Kalau menangani terorisme menggunakan public affair (polisi) tidak akan selesai. Harus menggunakan state affair, yaitu TNI," ungkapnya.
Permasalahannya, lanjutnya, melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme sama saja dengan membagi jatah anggaran Rp 1,9 triliun yang saat ini dimiliki kepolisian. Untuk itu, ia menduga pembahasan revisi UU Antiteror menjadi mandek sejak tahun 2016.
Sementara mengenai masalah pelanggaran HAM yang dijadikan alasan menolak pelibatan TNI, ia mengingatkan bahwa di semua negara prinsip yang benar adalah nation right lebih tinggi dari pada human right. Menurutnya, siapa pun bisa diambil tindakan tegas jika mengancam negara dan itu tidak dipersalahkan. "Dalam UU Terorime (yang akan terbit) harus disetujui bersama, bahwa nation right lebih tinggi derajatnya dari human right," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan sejumlah pasal tegas guna menanggulangi terorisme.
Pertama, setiap warga negara Indonesia yang pernah “berperang” di negara lain atas pilihannya sendiri dan bukan tugas negara dianggap tidak nasionalis dan hilang hak kewarganegaraannya. Tidak bisa kembali ke Indonesia dalam bentuk apa pun.
Kedua, mereka yang melakukan pelatihan militer mengunakan senjata serang assault weapon baik hanya simulasi apalagi senjata benaran, dikenakan pidana 10 tahun penjara.
Ketiga, setiap perkataan dan perbuatan yang secara harfiah jelas dan mudah dipahami mengatakan antipancasila, menghina simbol negara, mengerahkan massa untuk mengubah dasar negara dengan cara inkonstisional, radikal dan di luar cara sah UUD dikenakan penjara 20 tahun.
Keempat, setiap warga yang kena masalah pidana radikalisme dan terorime jika terkena pasal “penjara” berapa pun lamanya baru bisa lengkap / “keluar” akan ditambahkan 1 tugas yaitu membuat makalah tentang NKRI, kebinekaan, sejarah bangsa. Makalah karya tulis tersebut minimum 500 halaman dan akan dipresentasikan di depan “panelis”. Makalah tersebut disarikan dari minimum 20 buku referensi yang disediakan dalam perpustakaan khusus sejarah bangsa Indonesia.
Jokowi Beri Kewenangan TNI Berantas Teroris
Simulasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyerang markas teroris di Sentul, Bogor. [kompas]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menko Polhukam Wiranto memberikan kewenangan kepada jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme.
Saat ini, Revisi UU Antiterorisme sedang dalam pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
“Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja, dengan alasan-alasan yang saya kira, Menko Polhukam sudah mempersiapkannya,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat paripurna Kabinet Kerja di Ruang Garuda, Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5).
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga meminta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius konsisten menjalankan program pencegahan penyebaran paham terorisme mulai dari bangku sekolah, tempat ibadah, penjara, hingga media sosial.
“Karena ini juga akan sangat mengurangi aksi-aksi terorisme yang hampir semua negara sekarang ini mengalaminya,” kata Presiden Jokowi.
Lebih lanjut Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah juga terus mengupayakan untuk secepatnya menyelesaikan proses pembahasan RUU Antiterorisme di DPR.
Post a Comment