‘James Bond’ Indonesia Dilatih CIA dan Mossad
“Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita.” Markas CIA [Foto: dok. ChicagoTribune] ☆
Sebulan setelah Jepang mengibarkan bendera putih dalam Perang Dunia II, Frederick E Crockett tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 15 September 1945. Crockett datang dengan menumpang kapal perang Inggris, HMS Cumberland. Di bawah payung Operasi Everest, tugas Crockett di Jakarta hanya dua, yakni membantu pemulangan tentara Amerika Serikat yang ditawan Jepang dan membuka kantor intelijen.
Crockett merupakan perwira dalam Office of Strategic Service (OSS). Selama Perang Dunia II, OSS bertugas mengumpulkan informasi intelijen untuk menopang operasi militer Amerika dan negara-negara Sekutu. OSS inilah yang beberapa tahun kemudian bersalin nama menjadi Central Intelligence Agency (CIA).
Setelah Perang Dunia II usai, OSS berniat membuka stasiun intelijen di tiga kota di Asia Tenggara: Jakarta, Saigon (kini Ho Chi Minh City), dan Singapura. Operasi tiga stasiun ini ada di bawah kendali Kolonel John G Coughlin, yang berbasis di Kandy, Sri Lanka. Coughlin punya rencana besar di Asia Tenggara. Dia berniat menempatkan 85 intel di Singapura.
“Untuk apa kalian menempatkan orang sebanyak itu?” pejabat dinas intelijen Inggris bertanya kepada Coughlin, dikutip William J Rust dalam artikelnya Transitioning into CIA: The Strategic Services Unit in Indonesia. Lantaran protes Inggris, dia memangkas angka itu jadi tinggal 20 orang untuk seluruh Asia Tenggara. Masing-masing stasiun paling tidak terdiri atas empat orang dengan spesialisasi espionase, kontra-intelijen dan riset analisis. Menurut Coughlin, “Dengan tim yang kecil, kita tak akan menarik perhatian orang.”
Untuk stasiun intelijen Jakarta, selain Crockett, jebolan Universitas Harvard dan mantan perwira Angkatan Laut, ada lagi Jane Foster, seniman yang sudah punya pengalaman lumayan lama di bagian propaganda OSS. Jane juga lumayan paham bahasa dan budaya Indonesia. Dua orang lagi pembantu Crockett adalah Richard F Staples dan John E Beltz, keduanya prajurit Angkatan Laut Amerika. Sebagai kantor sementara, mereka menempati dua kamar Hotel des Indes, di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Pada akhir September 1945, ditemani seorang perwira intelijen Angkatan Laut Amerika, Jane menemui Presiden Sukarno di kediaman Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo. Intel-intel Amerika itu menekankan bahwa mereka hanya berniat mengumpulkan informasi. Dari bulan ke bulan, jumlah intel Amerika di Jakarta makin banyak. Salah satu tokoh kunci pada masa-masa awal operasi Dinas Intelijen Amerika di Indonesia adalah Robert Koke. Dia punya hotel di Bali dan lumayan pandai bercakap Melayu.
Saat intel-intel Amerika ini mulai beroperasi di Jakarta, badan intelijen Indonesia baru didirikan. Adalah Zulkifli Lubis, lulusan pertama sekolah intelijen yang dibikin oleh penjajah Jepang di Tangerang, yang jadi pelopornya. Zulkifli sempat ditempatkan Jepang di Singapura selama sekitar setahun.
Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Zulkifli kembali ke Jakarta. Ide besarnya menciptakan kemampuan intelijen bagi negara baru mendapat dukungan dari dua perwira militer Jepang, Yanagawa dan Yamazaki. "Saya menganggap untuk setiap gerakan apa pun, intelijen penting dan harus ada," ujar Zulkifli seperti yang dikutip dari buku Senarai Kiprah Sejarah. Dia membentuk Badan Istimewa, yang anggotanya dibatasi 40 mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta) dari seluruh Jawa dan bekas informan Jepang di Jakarta. Mereka dididik dasar-dasar intelijen di asrama pelayaran di kawasan Pasar Ikan.
Kepada murid-muridnya ini, Zulkifli menekankan bahwa mengabdi sebagai intelijen itu harus tanpa pamrih. Total pengabdian jadi hal mutlak. "TNI masih bisa dapat bintang, naik pangkat, dan kalau mati dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen tidak boleh begitu. Dia harus betul-betul mengabdi, semata-mata untuk negara dan orang banyak," kata Zulkifli.
* * *
Sejak awal dinas intelijen Indonesia beroperasi, sudah ada ‘jejak’ CIA. Pada 1952, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia saat itu, Merle Cochran, memberi penawaran pelatihan rahasia bagi para kader intelijen Departemen Pertahanan. Syaratnya, pemerintah Indonesia harus menolak kehadiran komunis di Indonesia.
Kenneth J Conboy dalam bukunya, Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service, menulis, kepada Bung Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Cochran menjanjikan para kader ini akan bisa menjadi kekuatan gerilya apabila terjadi serangan komunis asal China di Asia Tenggara. Bujukan Cochran berhasil meluluhkan Hatta dan Sultan. Terlebih lagi Cochran menyanggupi bantuan akan diberikan diam-diam.
Menurut Kenneth, peserta angkatan pertama kursus intelijen dari CIA itu sebanyak 17 orang. Mereka diseleksi dari 50 orang pemuda usia 20-an tahun oleh Soemitro Kolopaking, bekas Bupati Banjarnegara, yang dikenal dekat dengan Bung Hatta. Tri Sedjati Kolopaking, anak Soemitro, mengatakan ayahnya tak pernah bercerita soal perannya dalam kursus intel CIA itu. Begitu pula anak Wakil Presiden Hatta, Gemala Hatta. "Ayah hanya cerita pernah menyiapkan pendidikan untuk diplomat muda, soal pelatihan intel nggak pernah. Mungkin karena rahasia, ya," ujar Gemala kepada detikX beberapa hari lalu.
Menjelang akhir 1952, di tengah pekatnya gelap malam, para calon intel itu naik kapal dagang Maria Elisa, yang buang sauh di lepas pantai Semarang, Jawa Tengah. Setelah menerjang ganasnya lautan selama tiga hari, kapal dengan awak berkebangsaan Jepang itu tiba di Selat Makassar. Tak berapa lama sebuah pesawat amfibi PBY Catalina mendarat dan mendekati kapal dagang itu.
Sebuah kamera robot yang disediakan oleh CIA. [Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service]
Rata-rata calon intel Indonesia ini belum pernah naik pesawat. “Perut kami serasa dikocok-kocok,” ujar salah satu calon intel itu. Pesawat yang dioperasikan Civil Air Transport (CAT) di bawah kendali Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) itu membawa mereka ke Pangkalan Udara Clark, Filipina. Pada malam itu pula, mereka kembali diterbangkan ke Pulau Saipan, sebuah pulau di bagian barat Samudra Pasifik.
Di pulau yang dikuasai Amerika Serikat sejak 1950 itu, CIA mendirikan pusat pelatihan Saipan Training Station dengan nama samaran Naval Technical Training Unit untuk melatih para anggota dinas intelijen dan pasukan khusus dari berbagai negara yang sepaham. Gilbert Layton, veteran Perang Dunia II, menjadi instruktur para calon agen intelijen Indonesia.
Kartono Kadri, calon intel asal Magelang, saat diwawancarai Kenneth menuturkan perintah pertama dari Gilbert adalah semua benda yang berhubungan dengan negara asal mereka harus disingkirkan. Mereka pun mendapat panggilan ala Amerika untuk memudahkan komunikasi dengan instruktur.
Tiga bulan mereka tinggal di Saipan. Latihan paramiliter dan komunikasi morse menjadi santapan mereka setiap hari. “Saya menembakkan peluru lebih banyak di sini dibanding lima tahun masa revolusi,” ujar salah satu calon intel. Siswa yang menonjol diberi keahlian khusus peralatan dan metode analisis intelijen.
Setelah kembali ke Indonesia pada Februari 1953, mereka menghadap Soemitro dan dikumpulkan dalam organisasi bernama Firma Ksatria. Alumni Saipan ini dikirim ke pelbagai tempat untuk tugas intelijen. Kartono alias Shorty dikirim ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk mempelajari dan berusaha menarik simpati komunitas keturunan Tionghoa.
Dianggap sukses, proyek kursus intelijen CIA dilanjutkan lagi pada pertengahan 1953. Pelatihan gelombang kedua ini diikuti 19 pemuda. Sayangnya, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil membuat dinas intelijen Indonesia telantar. Keahlian intelijen para pemuda lulusan kursus intel CIA ini akhirnya tak terpakai. Beberapa dari mereka kemudian memilih kembali kuliah atau menjadi pegawai di beberapa departemen. Pada masa-masa itu, hubungan Indonesia dengan Amerika sempat memburuk.
Rezim berganti, haluan politik luar negeri berubah. Sejak awal berkuasa, Presiden Soeharto sudah merasakan perlunya dinas intelijen yang kuat di Indonesia. CIA kembali datang menawarkan bantuan uang dan pelatihan. Perwira Intelijen di Polisi Militer, Kolonel Nicklany Soedardjo, berperan besar dalam hal ini. Nicklany, yang menjabat Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan pernah menjalani pendidikan di Fort Gordon, Amerika, pada 1961, mengusulkan perlunya dibentuk unit baru untuk menangani kontra-intelijen asing kepada sejumlah petinggi Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi Militer (Den Pintel Pom).
Komandan Den Pintel Pom Mayor Nuril Rachman menyiapkan 10 perwira aktif dan 50 sipil. Unit inilah yang menjadi Satuan Khusus Pelaksana Intelijen atau Satsus Pintel dan kemudian dipendekkan menjadi Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel. Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan anggaran lumayan besar.
Very Pelenkahu (kiri) dengan penasihat Israel di Cipayung, 1971. [Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service]
Nicklany menenangkannya. "Jangan khawatir, kalian akan mendapatkannya," ujar Kolonel Nicklany. Pada 1966, kepala stasiun CIA di Jakarta adalah Clarence ‘Ed’ Barbier, mantan intel Angkatan Laut Amerika. Tak lama setelah Ed Barbier ‘mampir’ ke Markas Besar Polisi Militer, bantuan pun datang.
Ken Conboy menulis, hingga akhir 1968, Amerika memberikan bantuan keuangan secara rahasia untuk menggaji 60 personel, kendaraan untuk pengintaian, biaya sewa rumah aman di Jalan Jatinegara Timur Jakarta Timur, tape recorder mutakhir merek Sony TC-800, serta peralatan penyadap telepon QTC-11. Tak hanya dana operasi, CIA juga mengirimkan instruktur seniornya Richard Fortin pada September 1969 untuk memberikan pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu.
Rupanya bukan hanya CIA yang bermurah hati kepada Satsus Intel. Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris MI6 juga mengirimkan agennya sebagai instruktur. Dinas intelijen Israel yang kondang, Mossad, ikut ‘menyumbang’ intelnya untuk mendidik para agen Satsus Intel.
Pada November 1970, Anthony Tingle tiba di Jakarta dengan paspor Inggris. "Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk Mossad," Conboy menulis. Tak mudah mendapatkan izin untuk seorang instruktur Israel karena Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik. Nicklany mengabaikan persoalan sensitif itu dan mengambil risiko. "Kita mendatangkan instruktur Israel karena mereka yang terbaik di dunia," Nicklany menjelaskan kepada seorang perwira Satsus Intel.
Tingle mengajarkan bagaimana intel menyamarkan identitas selama empat pekan di Cipayung. Intel Mossad itu mengajar dengan sangat serius, dingin, tanpa lelucon sama sekali. “Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita,” salah seorang muridnya, Very Pelenkahu, menuturkan kepada Conboy. “Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun.”
Pada Februari 1973, Mossad mengirim pelatih keduanya untuk memberikan pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam melakukan kegiatan kontra-intelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari Satsus Intel.
Hubungan dengan Mossad ini lumayan awet juga. Pada 1983, seorang penasihat Israel datang ke Jakarta untuk mengajarkan teknik intelijen kepada lima intel yang akan ditempatkan di luar negeri. Salah seorang peserta menuturkan, dia sampai 15 kali diajak ke hotel. Hingga satu kali sang instruktur menunjuk seseorang yang duduk seorang diri di lobi.
“Saya hanya diberi waktu 15 menit untuk mengarang cerita, memperkenalkan diri, dan meyakinkan orang itu untuk bertemu kembali di lobi jam tujuh malam…. Jika si target menunggu saya malam itu, berarti saya berhasil,” seorang mantan pejabat Badan Intelijen Negara menuturkan.
Sebulan setelah Jepang mengibarkan bendera putih dalam Perang Dunia II, Frederick E Crockett tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 15 September 1945. Crockett datang dengan menumpang kapal perang Inggris, HMS Cumberland. Di bawah payung Operasi Everest, tugas Crockett di Jakarta hanya dua, yakni membantu pemulangan tentara Amerika Serikat yang ditawan Jepang dan membuka kantor intelijen.
Crockett merupakan perwira dalam Office of Strategic Service (OSS). Selama Perang Dunia II, OSS bertugas mengumpulkan informasi intelijen untuk menopang operasi militer Amerika dan negara-negara Sekutu. OSS inilah yang beberapa tahun kemudian bersalin nama menjadi Central Intelligence Agency (CIA).
Setelah Perang Dunia II usai, OSS berniat membuka stasiun intelijen di tiga kota di Asia Tenggara: Jakarta, Saigon (kini Ho Chi Minh City), dan Singapura. Operasi tiga stasiun ini ada di bawah kendali Kolonel John G Coughlin, yang berbasis di Kandy, Sri Lanka. Coughlin punya rencana besar di Asia Tenggara. Dia berniat menempatkan 85 intel di Singapura.
“Untuk apa kalian menempatkan orang sebanyak itu?” pejabat dinas intelijen Inggris bertanya kepada Coughlin, dikutip William J Rust dalam artikelnya Transitioning into CIA: The Strategic Services Unit in Indonesia. Lantaran protes Inggris, dia memangkas angka itu jadi tinggal 20 orang untuk seluruh Asia Tenggara. Masing-masing stasiun paling tidak terdiri atas empat orang dengan spesialisasi espionase, kontra-intelijen dan riset analisis. Menurut Coughlin, “Dengan tim yang kecil, kita tak akan menarik perhatian orang.”
Untuk stasiun intelijen Jakarta, selain Crockett, jebolan Universitas Harvard dan mantan perwira Angkatan Laut, ada lagi Jane Foster, seniman yang sudah punya pengalaman lumayan lama di bagian propaganda OSS. Jane juga lumayan paham bahasa dan budaya Indonesia. Dua orang lagi pembantu Crockett adalah Richard F Staples dan John E Beltz, keduanya prajurit Angkatan Laut Amerika. Sebagai kantor sementara, mereka menempati dua kamar Hotel des Indes, di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Pada akhir September 1945, ditemani seorang perwira intelijen Angkatan Laut Amerika, Jane menemui Presiden Sukarno di kediaman Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo. Intel-intel Amerika itu menekankan bahwa mereka hanya berniat mengumpulkan informasi. Dari bulan ke bulan, jumlah intel Amerika di Jakarta makin banyak. Salah satu tokoh kunci pada masa-masa awal operasi Dinas Intelijen Amerika di Indonesia adalah Robert Koke. Dia punya hotel di Bali dan lumayan pandai bercakap Melayu.
Saat intel-intel Amerika ini mulai beroperasi di Jakarta, badan intelijen Indonesia baru didirikan. Adalah Zulkifli Lubis, lulusan pertama sekolah intelijen yang dibikin oleh penjajah Jepang di Tangerang, yang jadi pelopornya. Zulkifli sempat ditempatkan Jepang di Singapura selama sekitar setahun.
Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Zulkifli kembali ke Jakarta. Ide besarnya menciptakan kemampuan intelijen bagi negara baru mendapat dukungan dari dua perwira militer Jepang, Yanagawa dan Yamazaki. "Saya menganggap untuk setiap gerakan apa pun, intelijen penting dan harus ada," ujar Zulkifli seperti yang dikutip dari buku Senarai Kiprah Sejarah. Dia membentuk Badan Istimewa, yang anggotanya dibatasi 40 mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta) dari seluruh Jawa dan bekas informan Jepang di Jakarta. Mereka dididik dasar-dasar intelijen di asrama pelayaran di kawasan Pasar Ikan.
Kepada murid-muridnya ini, Zulkifli menekankan bahwa mengabdi sebagai intelijen itu harus tanpa pamrih. Total pengabdian jadi hal mutlak. "TNI masih bisa dapat bintang, naik pangkat, dan kalau mati dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen tidak boleh begitu. Dia harus betul-betul mengabdi, semata-mata untuk negara dan orang banyak," kata Zulkifli.
* * *
Sejak awal dinas intelijen Indonesia beroperasi, sudah ada ‘jejak’ CIA. Pada 1952, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia saat itu, Merle Cochran, memberi penawaran pelatihan rahasia bagi para kader intelijen Departemen Pertahanan. Syaratnya, pemerintah Indonesia harus menolak kehadiran komunis di Indonesia.
Kenneth J Conboy dalam bukunya, Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service, menulis, kepada Bung Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Cochran menjanjikan para kader ini akan bisa menjadi kekuatan gerilya apabila terjadi serangan komunis asal China di Asia Tenggara. Bujukan Cochran berhasil meluluhkan Hatta dan Sultan. Terlebih lagi Cochran menyanggupi bantuan akan diberikan diam-diam.
Menurut Kenneth, peserta angkatan pertama kursus intelijen dari CIA itu sebanyak 17 orang. Mereka diseleksi dari 50 orang pemuda usia 20-an tahun oleh Soemitro Kolopaking, bekas Bupati Banjarnegara, yang dikenal dekat dengan Bung Hatta. Tri Sedjati Kolopaking, anak Soemitro, mengatakan ayahnya tak pernah bercerita soal perannya dalam kursus intel CIA itu. Begitu pula anak Wakil Presiden Hatta, Gemala Hatta. "Ayah hanya cerita pernah menyiapkan pendidikan untuk diplomat muda, soal pelatihan intel nggak pernah. Mungkin karena rahasia, ya," ujar Gemala kepada detikX beberapa hari lalu.
Menjelang akhir 1952, di tengah pekatnya gelap malam, para calon intel itu naik kapal dagang Maria Elisa, yang buang sauh di lepas pantai Semarang, Jawa Tengah. Setelah menerjang ganasnya lautan selama tiga hari, kapal dengan awak berkebangsaan Jepang itu tiba di Selat Makassar. Tak berapa lama sebuah pesawat amfibi PBY Catalina mendarat dan mendekati kapal dagang itu.
Sebuah kamera robot yang disediakan oleh CIA. [Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service]
Rata-rata calon intel Indonesia ini belum pernah naik pesawat. “Perut kami serasa dikocok-kocok,” ujar salah satu calon intel itu. Pesawat yang dioperasikan Civil Air Transport (CAT) di bawah kendali Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) itu membawa mereka ke Pangkalan Udara Clark, Filipina. Pada malam itu pula, mereka kembali diterbangkan ke Pulau Saipan, sebuah pulau di bagian barat Samudra Pasifik.
Di pulau yang dikuasai Amerika Serikat sejak 1950 itu, CIA mendirikan pusat pelatihan Saipan Training Station dengan nama samaran Naval Technical Training Unit untuk melatih para anggota dinas intelijen dan pasukan khusus dari berbagai negara yang sepaham. Gilbert Layton, veteran Perang Dunia II, menjadi instruktur para calon agen intelijen Indonesia.
Kartono Kadri, calon intel asal Magelang, saat diwawancarai Kenneth menuturkan perintah pertama dari Gilbert adalah semua benda yang berhubungan dengan negara asal mereka harus disingkirkan. Mereka pun mendapat panggilan ala Amerika untuk memudahkan komunikasi dengan instruktur.
Tiga bulan mereka tinggal di Saipan. Latihan paramiliter dan komunikasi morse menjadi santapan mereka setiap hari. “Saya menembakkan peluru lebih banyak di sini dibanding lima tahun masa revolusi,” ujar salah satu calon intel. Siswa yang menonjol diberi keahlian khusus peralatan dan metode analisis intelijen.
Setelah kembali ke Indonesia pada Februari 1953, mereka menghadap Soemitro dan dikumpulkan dalam organisasi bernama Firma Ksatria. Alumni Saipan ini dikirim ke pelbagai tempat untuk tugas intelijen. Kartono alias Shorty dikirim ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk mempelajari dan berusaha menarik simpati komunitas keturunan Tionghoa.
Dianggap sukses, proyek kursus intelijen CIA dilanjutkan lagi pada pertengahan 1953. Pelatihan gelombang kedua ini diikuti 19 pemuda. Sayangnya, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil membuat dinas intelijen Indonesia telantar. Keahlian intelijen para pemuda lulusan kursus intel CIA ini akhirnya tak terpakai. Beberapa dari mereka kemudian memilih kembali kuliah atau menjadi pegawai di beberapa departemen. Pada masa-masa itu, hubungan Indonesia dengan Amerika sempat memburuk.
Rezim berganti, haluan politik luar negeri berubah. Sejak awal berkuasa, Presiden Soeharto sudah merasakan perlunya dinas intelijen yang kuat di Indonesia. CIA kembali datang menawarkan bantuan uang dan pelatihan. Perwira Intelijen di Polisi Militer, Kolonel Nicklany Soedardjo, berperan besar dalam hal ini. Nicklany, yang menjabat Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan pernah menjalani pendidikan di Fort Gordon, Amerika, pada 1961, mengusulkan perlunya dibentuk unit baru untuk menangani kontra-intelijen asing kepada sejumlah petinggi Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi Militer (Den Pintel Pom).
Komandan Den Pintel Pom Mayor Nuril Rachman menyiapkan 10 perwira aktif dan 50 sipil. Unit inilah yang menjadi Satuan Khusus Pelaksana Intelijen atau Satsus Pintel dan kemudian dipendekkan menjadi Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel. Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan anggaran lumayan besar.
Very Pelenkahu (kiri) dengan penasihat Israel di Cipayung, 1971. [Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service]
Nicklany menenangkannya. "Jangan khawatir, kalian akan mendapatkannya," ujar Kolonel Nicklany. Pada 1966, kepala stasiun CIA di Jakarta adalah Clarence ‘Ed’ Barbier, mantan intel Angkatan Laut Amerika. Tak lama setelah Ed Barbier ‘mampir’ ke Markas Besar Polisi Militer, bantuan pun datang.
Ken Conboy menulis, hingga akhir 1968, Amerika memberikan bantuan keuangan secara rahasia untuk menggaji 60 personel, kendaraan untuk pengintaian, biaya sewa rumah aman di Jalan Jatinegara Timur Jakarta Timur, tape recorder mutakhir merek Sony TC-800, serta peralatan penyadap telepon QTC-11. Tak hanya dana operasi, CIA juga mengirimkan instruktur seniornya Richard Fortin pada September 1969 untuk memberikan pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu.
Rupanya bukan hanya CIA yang bermurah hati kepada Satsus Intel. Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris MI6 juga mengirimkan agennya sebagai instruktur. Dinas intelijen Israel yang kondang, Mossad, ikut ‘menyumbang’ intelnya untuk mendidik para agen Satsus Intel.
Pada November 1970, Anthony Tingle tiba di Jakarta dengan paspor Inggris. "Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk Mossad," Conboy menulis. Tak mudah mendapatkan izin untuk seorang instruktur Israel karena Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik. Nicklany mengabaikan persoalan sensitif itu dan mengambil risiko. "Kita mendatangkan instruktur Israel karena mereka yang terbaik di dunia," Nicklany menjelaskan kepada seorang perwira Satsus Intel.
Tingle mengajarkan bagaimana intel menyamarkan identitas selama empat pekan di Cipayung. Intel Mossad itu mengajar dengan sangat serius, dingin, tanpa lelucon sama sekali. “Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita,” salah seorang muridnya, Very Pelenkahu, menuturkan kepada Conboy. “Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun.”
Pada Februari 1973, Mossad mengirim pelatih keduanya untuk memberikan pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam melakukan kegiatan kontra-intelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari Satsus Intel.
Hubungan dengan Mossad ini lumayan awet juga. Pada 1983, seorang penasihat Israel datang ke Jakarta untuk mengajarkan teknik intelijen kepada lima intel yang akan ditempatkan di luar negeri. Salah seorang peserta menuturkan, dia sampai 15 kali diajak ke hotel. Hingga satu kali sang instruktur menunjuk seseorang yang duduk seorang diri di lobi.
“Saya hanya diberi waktu 15 menit untuk mengarang cerita, memperkenalkan diri, dan meyakinkan orang itu untuk bertemu kembali di lobi jam tujuh malam…. Jika si target menunggu saya malam itu, berarti saya berhasil,” seorang mantan pejabat Badan Intelijen Negara menuturkan.
Post a Comment