Mengapa Suharto Tidak Menjadi Target Dalam Peristiwa G30S/PKI

Inilah Jawaban, "Mengapa Suharto Tidak Menjadi Target Dalam Peristiwa G30S"


Selama puluhan tahun opini kita telah digiring untuk menempatkan Jenderal Suharto sebagai Dalang dari peristiwa G30S/PKI. Selama puluhan tahun pula opini kita digiring untuk menuduh Jenderal Suharto sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian jutaan rakyat tidak berdosa yang menjadi korban sebagai dampak dari peristiwa pembantaian 7 perwira TNI AD di Lubang Buaya. Selama puluhan tahun opini kita digiring untuk menganggap peristiwa G30S/PKI adalah konflik internal ditubuh TNI AD. Mereka seolah mengabaikan pengakuan saksi hidup yang melihat langsung keberadaan anggota Pemuda Rakyat yang merupakan organisasi sayap PKI saat peristiwa penculikan terjadi. (kesaksian Amelia Yani, putri dari Jenderal Ahmad Yani).



Menurut Sastrawan Taufiq Ismail,kaum Komunis memang pinter dan ahli dalam memutar balikkan faka, memanipulasi data, memanipulasi informasi, memalsukan dokumen, mengarang cerita yang telah direkayasa, memfitnah dan menipu. Mereka juga akan memaki dan menghujat orang yang dianggap bertentangan dengan mereka. Lalu mereka tidak segan untuk membunuh bahkan membantai orang yang dianggap menentang keinginan mereka.

Pada acara ILC tanggal 29 September 2015 lalu terbukti kalau kaum Komunis berusaha memutar balikkan fakta seolah-olah mereka adalah “Korban” dari konspirasi jahat yang terjadi ditahun 1965. Mereka tanpa malu berusaha membuktikan kalau mereka telah menjadi “Korban” dari perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Mereka seolah-olah menutup mata dan mengabaikan kesaksian pelaku sejarah yang melihat dan mengalami sendiri peristiwa yang sebenarnya. Mereka seolah-olah mengabaikan kesaksian Amelia Yani, putri dari Jenderal Ahmad Yani yang melihat langsung keterlibatan Pemuda Rakyat yang merupakan organisasi sayap dari PKI, saat peristiwa penculikan dan pembantaian bapaknya. Amelia Yani dengan jelas menggambarkan anggota Pemuda Rakyat yang dikenali dengan mengenakan tanda pita tanpa mengenakan sepatu lars layaknya tentara. Pada acara ILC tanggal 29 September 2015, Prof. JE Sahetapy secara implisit telah mengingatkan kita semua tentang militansi kaum Komunis, “masih hidup saja para saksi sejarah, kaum komunis sudah berani mencoba memutar balikan fakta, bagaimana bila semua saksi sejarah sudah pada meninggal dunia ?”.

Sekarang penulis ingin mengajak pembaca pada beberapa fitnah yang ditujukan pada Suharto. Berbagai versi cerita dikarang pihak-pihak tertentu untuk menggiring opini kita agar membenci Suharto. Berbagai versi cerita tentang masa lalu Suharto yang buruk dikarang agar versi cerita yang mereka karang terlihat kapabel. Ada versi cerita yang dikarang seolah-olah Suharto memiliki dendam pribadi kepada semua korban yang terbunuh di Lubang Buaya. Ada versi cerita yang dikarang seolah-olah Suharto berkelakuan asusila karena memiliki hubungan gelap dengan seorang artis bernama Rahayu Effendi. Bahkan dikarang cerita seolah-olah telah terjadi wawancara dengan para tetangga Rahayu Effendi di Bogor kalau memang pernah terjadi penyiraman tinja kerumah Rahayu Effendi yang di Bogor. Ada juga versi cerita yang mempertanyakan mengapa Suharto tidak menjadi bagian dari target pembunuhan dimalam itu. Bahkan ada versi cerita yang memasukan nama Jenderal Gatot Subroto sebagai pihak yang paling membela Suharto dengan alasan Suharto memiliki potensi yang masih bisa dibina.  Ada juga versi cerita yang menunjukan bila sebelum peristiwa pembantaian ke 7 perwira TNI AD ternyata Kolonel Latief yang juga mantan bawahan Suharto ketika masih di Kodam Diponegoro telah melakukan beberapa pertemuan dengan Suharto bahkan hingga malam kejadian yaitu tanggal 18, 28, 29 dan 30 September 1965. Bahkan kondisi Tommy Suharto yang masuk Rumah Sakit dituduh sebagai akal-akalan Suharto agar tetap berada di Jakarta. Semua versi cerita dikarang dengan satu tujuan untuk menunjukan kalau Suharto yang terlihat santun hanyalah pura-pura atau kamuflase untuk menutupi kelakuannya yang buruk.
 
Mari kita membahas perihal pertanyaan"mengapa Suharto tidak menjadi target dari operasi". Mereka berusaha mendiskreditkan Suharto dengan situasi dimana kediaman para perwira TNI AD yang menjadi korban G30S/PKI berdekatan dengan kediaman Suharto. Mereka juga menjadikan posisi Pangkostrad yang memiliki kekuatan pasukan tapi mengapa tidak menjadi target operasi penculikan dan pembantaian. 

Mari kita bahas satu persatu. Kita semua tentu tahu kalau semua perwira TNI AD yang menjadi korban kebrutalan PKI adalah mereka yang menolak proposal yang diajukan PKI mengenai Angkatan ke V. Memang benar bila tempat tinggal mereka saling berdekatan yaitu didaerah Menteng. Tapi harus diingat bahwa mereka yang menjadi korban adalah para petinggi di Markas Besar AD. Jenderal AH Nasution merupakan Menko Pangab namun jabatannya hanya jabatan struktural. Jenderal Ahmad Yani merupakan Menpangad/KASAD yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi di TNI AD. Sutoyo, S Parman, Suprapto, DI Panjaitan, MT HARYONO merupakan deputi ataupun Asisten Menpangad yang berkedudukan di Markas Besar TNI AD. Ke 7 perwira TNI AD yang menjadi target penindakan Letkol Untung adalah petinggi TNI AD yang membuat keputusan dan kebijakan di tubuh TNI AD. Suharto yang ketika itu menjabat sebagai Pangkostrad bukanlah bagian dari Mabes AD yang dapat memberi keputusan dan Suharto hanyalah bagian dari mereka yang menjalankan keputusan yang diambil Mabes AD. Posisi Suharto sama seperti posisi Pangdam Jaya atau DanRPKAD yang merupakan perwira pasukan yang siap menjalankan kebijakan para petinggi di Mabes TNI AD. Sebagai Pangkostrad, Suharto selalu siap menjalankan setiap perintah yang dikeluarkan Mabes AD. Itulah yang menjadi alasan kalau Suharto bukanlah orang penting yang pantas dijadikan target operasi. 

Sikap Suharto yang selalu loyal dan patuh kepada atasan membuat Suharto tidak termasuk dalam target operasi penculikan. Suharto tidak pernah mengeluarkan statement yang berseberangan dengan Panglima Tertinggi ABRI. Suharto tidak pernah membangkang atau menolak setiap kebijakan yang diambil Panglima Tertinggi ABRI. Mereka menganggap Suharto akan loyal dan patuh kepada pimpinan tertinggi Panglima Tertinggi ABRI.

Mereka yang memfitnah Suharto juga mengarang cerita tentang pasukan dari Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya yang dikirim ke Jakarta dengan dalih untuk memperingati hari ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Mereka memanfaatkan jabatan Suharto yang pernah menjabat sebagai Pangdam Diponegoro ditahun 1959 lalu. Mari kita bahas posisi Suharto sebagai Pangkostrad kala itu dengan kehadiran pasukan dari Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya. Dengan jabatan sebagai Pangkostrad kala itu, apakah mungkin Suharto mampu memerintahkan pengiriman pasukan dari Komando Teritory yang notabene bukanlah bagian dari pasukan Kostrad ? Para antek PKI memanfaatkan posisi Suharto yang pernah menjadi Pangdam Diponegoro lalu mengarang cerita seolah-olah Suharto masih memiliki wewenang untuk menggerakan pasukan dari Kodam Diponegoro dan pasukan dari Kodam Brawijaya. Seperti diketahui, Mayjen Pranoto juga pernah menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dan beliau terbukti terlibat langsung dalam operasi penculikan ke 7 perwira TNI AD sesuai dengan pengakuan Letkol Untung dipersidangan. Harus juga diketahui bila Letkol Untung ternyata merupakan prajurit kebanggaan dari Jenderal Ahmad Yani di Banteng Raiders. Kedua pasukan ini menjadi bagian dari operasi penculikan dan pembantaian ke 7 perwira TNI AD dan kedua pasukan ini ditumpas habis dalam operasi militer yang dilakukan oleh pasukan RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhie.


Harus diingat, apakah bila tempat tinggal mereka saling berdekatan lalu salah satu dari mereka yang luput dari target harus dituduh sebagai pelakunya ? atau, apakah bila Suharto pernah menjabat Pangdam Diponegoro lalu secara otomatis beliau terlibat atau dituduh sebagai pelaku bila pasukan dari bekas pimpinannya bersalah ? Bila memang itu yang dijadikan acuan maka sekalian aja seluruh Pati yang tinggal disekitar Menteng dituduh sebagai dalang peristiwa G30S/PKI atau sekalian seluruh mantan Pangdam Diponegoro dituduh sebagai dalangnya juga.