Jejak Kapal-kapal Perang Rusia di Hindia Belanda pada Perang Rusia-Jepang


Kapal-kapal perang angkatan laut Rusia tengah berlabuh di Sabang pada 1903 untuk mengisi batu bara sebelum melanjutkan perjalanan ke Port Arthur. Kapal di bagian depan adalah Retvizan, sedangkan di belakangnya adalah Diana


Pada 25 Desember 2015, kapal perang antipermukaan Rusia, Bystry, merapat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kapal perusak antipermukaan utama Angkatan Laut Rusia tersebut datang ke Indonesia untuk mengembangkan kerja sama militer antara kedua negara.
Ada banyak ancaman dan tantangan terhadap perdamaian dunia. Kapal ini adalah salah satu yang terkuat dari Angkatan Laut Rusia untuk menangkal berbagai ancaman tersebut, bersama dengan mitra-mitra luar negeri kami, termasuk Indonesia,” ujar Mikhail Y. Galuzin, Duta Besar Rusia untuk Indonesia dalam sesi jumpa pers di atas geladak Bystry.
Setahun sebelumnya, pada 5 November 2014, Fregat Armada Baltik Angkatan Laut Rusia, Yaroslav Mudry, juga sempat berlabuh di Jakarta. Yang terakhir, Armada Pasifik Rusia ikut andil dalam Latihan Internasional Komodo 2016 yang diselenggarakan pada 12 – 16 April lalu.
Kedatangan kapal-kapal perang Rusia di perairan Indonesia merupakan bukti hubungan harmonis kedua negara. Hal tersebut semakin ditekankan dengan besarnya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sistem teknologi persenjataan laut Rusia yang merupakan salah satu yang paling modern saat ini.
Lain sekarang, lain pula dulu. Keinginan Rusia untuk melabuhkan kapal-kapal perangnya justru nyaris menimbulkan konflik internasional antara Jepang, Rusia, dan negara pendahulu Indonesia sebelum mendapatkan kemerdekaannya, Hindia Belanda.
Memasuki abad ke-20, situasi politik di Asia Timur memanas. Rusia dan Jepang berambisi untuk mendapatkan supremasi politik dan militer di Manchuria, Tiongkok bagian utara. Rusia sudah mengontrol Manchuria sejak tahun 1898 dan membangun jaringan rel kereta api serta membentengi kota pelabuhan Port Arthur (sekarang bernama Lushun). Sementara, Jepang mengendalikan Semenanjung Korea setelah berhasil mengalahkan Tiongkok dalam Perang Sino-Jepang Pertama (1894 – 1895).
Pada 13 November 1902, kapal perang Pobeda dan Retvizan, serta kapal penjelajah Bogatyr, Diana, dan Pallada dikirim dari Laut Baltik ke Port Arthur untuk mempertegas ambisi Rusia di Manchuria. Kapal-kapal ini harus berhenti beberapa kali di beberapa pelabuhan untuk mengisi bahan bakar batu bara, salah satunya di Pelabuhan Sabang, Aceh, ujung utara Pulau Sumatra.
Pelabuhan Sabang, yang terletak di Pulau Weh, letaknya strategis sebagai pintu masuk pelayaran dan perdagangan di Sumatra dan Selat Malaka. Dibuka pada tahun 1883 oleh firma De Lange & Co., pelabuhan ini awalnya digunakan sebagai pangkalan batu bara untuk Angkatan Laut Hindia Belanda. Sabang kian berkembang setelah dikelola oleh perusahaan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) pada tahun 1895.
Perusahaan ini berangsur-angsur membangun Sabang dari sebuah pangkalan untuk memasok pasukan menjadi pelabuhan bebas yang penting,” tulis Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh. Sebagai pelabuhan bebas, kapal-kapal asing dapat berlabuh dan berdagang di Sabang tanpa melanggar wilayah dan hukum teritorial Hindia Belanda.
Kapal-kapal Rusia tiba di Sabang untuk mengisi batu bara pada Maret 1903, seperti dilaporkan koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 31 Maret 1903. Mereka berlayar kembali dan sampai di Port Arthur pada 4 Mei 1903 dan bergabung dengan kapal-kapal dari Vladivostok untuk membentuk Armada Timur Jauh.
Jepang menganggap hal itu sebagai bentuk provokasi dan akhirnya Jepang mendeklarasikan perang pada 8 Februari 1904. Kapal-kapal Jepang langsung memblokade Port Arthur. Geram karena melihat posisi Rusia yang terdesak, pada 15 Oktober 1904 Tsar Nikolay II memerintahkan Armada Baltik di Eropa yang dipimpin Laksamana Madya Zinovy Rozhestvensky untuk berangkat ke Port Arthur dan membantu Armada Timur Jauh melawan Angkatan Laut Jepang.
Foto Pelabuhan Sabang pada 1904. Terlihat sebuah kapal Rusia sedang berlabuh dan mengisi bahan bakar. Foto diambil dari memoar Hein van Dugteren, bendahara Serikat Buruh Belanda, NVV, yang menjadi saksi mata kehadiran kapal-kapal Rusia di Hindia Belanda selama Perang Rusia-Jepang. Sumber: vakbondshistorie.nl
Foto Pelabuhan Sabang pada 1904. Terlihat sebuah kapal Rusia sedang berlabuh dan mengisi bahan bakar. Foto diambil dari memoar Hein van Dugteren, bendahara Serikat Buruh Belanda, NVV, yang menjadi saksi mata kehadiran kapal-kapal Rusia di Hindia Belanda selama Perang Rusia-Jepang
Namun, kedatangan Armada Baltik yang akan melewati Sabang membuat Jepang cemas. Jepang memberi peringatan keras agar Hindia Belanda tidak membuka Sabang bagi Armada Baltik, atau Jepang akan mempertanyakan netralitas Hindia Belanda.
Masalahnya, Hindia Belanda tidak memiliki angkatan laut yang cukup kuat untuk menghalau Armada Baltik jika mereka memaksa untuk mengisi bahan bakar di Sabang. Beruntung, Armada Baltik tidak menimbulkan masalah ketika melewati Hindia Belanda — lebih tepatnya karena angkatan laut Hindia Belanda sama sekali tidak berhasil mendeteksi kapal-kapal perang Rusia tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengawasan yang ketat karena armada Rusia kemungkinan akan melewati Sabang; armada tersebut pada kenyataannya memang berlabuh di Pantai Anambas (Kepulauan Riau). Dilaporkan pula terlihat adanya kapal-kapal perang asing, kemungkinan dari Jepang, pada akhir tahun 1904 dan awal tahun 1905,” tulis J.N.F.M. a Campo dalam Engines of Empire: Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia.

Bagi Hindia Belanda, bangkitnya Jepang sebagai kekuatan baru di Asia jauh lebih mengancam daripada kehadiran kapal-kapal perang Rusia. “Asia bagian utara bukan hanya tempat Jepang akan memperluas wilayahnya, Asia Tenggara juga masuk ke dalam penglihatan mereka. Formosa (Filipina) akan menjadi jembatan ke Hindia Belanda, yang kekayaan sumber daya alamnya bukan lagi sebuah rahasia bagi Jepang,” tulis Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War, 1914 – 1918.
Karena alasan itulah, meski bersikap netral, beberapa pihak di Hindia Belanda pada dasarnya bersimpati kepada Rusia, salah satunya adalah kaum pedagang Eropa. Selama tahun 1904, NHM di Sabang diam-diam meneken kontrak dengan Angkatan Laut Rusia untuk memasok batu bara bagi kapal-kapal Rusia, bahkan meminta kantor-kantor mereka di Surabaya dan Makassar untuk melakukan hal yang sama.
Di medan Perang, Jepang berhasil menguasai Port Arthur dan menghancurkan Armada Timur Jauh pada 2 Januari 1905. Kapal utama armada Rusia, Petropavlosk, bahkan tenggelam bersama dengan tewasnya pemimpin mereka, Laksamana Stepan Makarov. Pada 20 Februari 1905, pasukan darat Jepang sekali lagi memukul mundur Tentara Rusia dalam Pertempuran Mukden.
Berita-berita kekalahan ini membuat moral awak Armada Baltik yang masih dalam perjalanan ke Port Arthur menurun drastis. Armada tersebut kemudian disergap oleh Angkatan Laut Jepang di Selat Tsushima pada 27 Mei 1905. Pertempuran terjadi dan Armada Baltik kalah. Sebelas kapal perang Rusia tenggelam, termasuk kapal utama Knyaz Suvorov. Sebagian besar kapal penjelajah dan perusaknya hancur. Sebanyak 4.380 pelaut Rusia tewas dan 5.197 ditawan.
Kapal-kapal yang berhasil lari dari pertempuran dikejar-kejar oleh Jepang, salah satunya adalah Kostroma, sebuah kapal rumah sakit yang lari ke perairan Hindia Belanda. Angkatan Laut Hindia Belanda sedang berada di Batavia saat Kostroma yang dinahkodai oleh Kapten Nikolay Smielsky tersebut meminta izin memasuki Pelabuhan Tanjung Priok.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tertanggal 25 April 1905 melaporkan bahwa Kostroma diawaki oleh empat dokter, lima perwira, seorang ahli farmasi, dan sembilan perawat dari Palang Merah beserta 120 pelaut. Para perawat yang semuanya perempuan tersebut rupanya menarik perhatian para pelaut Belanda dan mereka pun dijamu sedemikian rupa selama berlabuh di Tanjung Priok.
Setelah mengalami serangkaian kekalahan, Rusia pun terpaksa berdamai dengan Jepang melalui Perjanjian Portsmouth yang ditandatangani pada 5 September 1905. Rusia harus meninggalkan Manchuria. Kekalahan Rusia memberi jalan bagi Jepang untuk menjadi kekuatan dominan di Asia Timur. Ketakutan Hindia Belanda terhadap ekspansi Jepang akhirnya menjadi kenyataan kala Jepang menyerbu pada Perang Dunia II. Hindia Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942.