Sepenggal Kisah Tank PT-76 Tni Al


Beberapa unit Tank PT-76 milik Korp Marinir Tni Al diketahui sudah tidak memiliki kemampuan berenang mengarungi lautan dalam latihan Armada Jaya 2016, gelar alutsista tua tersebut langsung ditempatkan di area latihan pantai Banongan-Jawa Timur.
Tank amfibi PT-76 secara resmi masuk ke dalam
jajaran kesatuan kavaleri APRI sejak tahun 1962.
Namun karena berkemampuan amfibi maka sebagian besar tank ini lebih banyak dioperasikan oleh Batalyon Panser Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL), atau yang sekarang dikenal sebagai Batalyon Kendaraan Pendarat Amfibi Korps Marinir TNI AL. Awalnya ranpur ini dipersiapkan untuk menunjang pelaksanaan
operasi kampanye militer terbesar dalam sejarah
Indonesia, yaitu Operasi Jayawijaya, yang akan digelar dalam rangka pembebasan Irian Barat.
Pada perkembangan selanjutnya, PT-76 secara aktif dilibatkan dalam berbagai kegiatan operasi keamanan di dalam negeri dan operasi militer seperti Dwikora (1964-1965) di perbatasan Indonesia–Malaysia, Operasi Seroja (1975-1979) di Timor Timur dan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (2002-2005).
Hingga memasuki era millennium ini, tank antik
eks Rusia ini masih aktif dioperasikan oleh TNI AL
dalam berbagai kegiatan penugasan dan latihan.
Namun sesungguhnya kondisi PT-76 saat ini sangat berbeda dengan kondisi awalnya yang masih “asli” Rusia. Hal ini disebabkan adanya penggantian sejumlah mesin utama dan persenjataan dari produk Rusia ke produk negara-negara Barat. Keadaan tersebut tidak
terlepas dari perkembangan situasi politik yang
terjadi. Pada tahun 1965 meletus peristiwa berdarah G-30-S yang diduga didalangi oleh PKI,yang berujung dibubarkannya partai tersebut dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Kebijakan pemerintah Indonesia itu kontan menuai protes keras dari Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, dan akhirnya dilakukanlah embargo suku-cadang bagi PT-76. Embargo tersebut sempat menyulitkan pemeliharaan dan perawatan tank amfibi ini,hingga terpaksa dilakukan kanibalisasi. Namun
mengingat PT-76 masih dipandang sebagai
ranpur yang berperan penting dalam menunjang
kegiatan operasi keamanan, untuk itu ditempuhlah kebijakan untuk mengganti mesin dan persenjataannya atau istilah kerennya “retrofit”.
Retrofit atau kegiatan peremajaan dimulai sejak
tahun 1990 pada sejumlah Tank PT-76 yang masih
layak pakai. Peremajaan dan modifikasi PT-76 antara lain meliputi: – Penggantian mesin diesel 4
silinder V-6 Rusia yang berkekuatan 240 daya kuda
dengan mesin diesel 2 Tak 6 silinder jenis DDA V-92 T Turbo Charge seberat 1200 kg buatan Amerika Serikat yang berkekuatan 290 daya kuda.
Penggantian ini memungkinkan PT-76 melaju di jalan raya dengan kecepatan hingga 58 km/jam, di
jalan biasa 35 km/jam dan di medan terbuka 40
km/Jam. Meskipun demikin kecepatan saat berenang, baik ke arah muka maupun belakang,sama dengan spesifikasi “aslinya”. – Penggantian meriam D-56TM yang memiliki alur dan galangan berjumlah 32 buah, dengan meriam berkecepatan tinggi seberat 519 kg jenis Cockerill Mk.III A-2 kaliber 90 mm buatan Belgia. Meriam baru ini memiliki panjang laras 3,248 m dengan jumlah alur dan galangan 60 buah serta dibekali 36 butir
peluru berbagai jenis. Meriam buatan Belgia ini
memiliki jangkauan tembakan sejauh 2,2 km dan
pada penembakan tunggal mampu mencapai 6 km. Adapun sudut dongak meriam ini 36 derajat dan tunduk 6 derajat. Sementara itu senapan mesin DShK diganti dengan FN GPMG kaliber 7,62 mm buatan Belgia.
Meskipun telah berusia tua dan mengalami serangkaian peremajaan, namun PT-76 terbukti merupakan ranpur yang handal dan “bandel”. Kiranya cukup beralasan jika PT-76 Indonesia dijuluki “Battle Proven” alias Jago
Perang yang melegenda di lingkungan Korps Marinir TNI AL.